Jumat, Februari 06, 2009

MEWASPADAI POTENSI KONFLIK PEMILU 2009 PASCA PUTUSAN MK

expr:id='"post-" + data:post.id'> Setelah dikabulkannya permohonan uji materi atau judicial review UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPRD dan DPD yang sebelumnya diajuakn oleh Muhammad soleh sebagai penggugat di mahkama konstitusi (mk), terkait dengan ketentuan penetapan caleg yang sebelumnya berdasarkan nomer urut. Oleh MK ketentuan nomer urut tersebut di hapus dan akhirnya meggunakan suara terbanyak. Pertimbangan yuridis putusan itu bahwa UU pemilu tidak mencerminkan hak warga Negara dan kedaulatan rakyat yang mestinya diposisikan setara dalam Negara hokum yang demokratis.
Putusan MK tersebut selain disambut positif oleh berbagi pihak terutama oleh berbagai pihak teritama para caleg dengan nomer sepatu (nomer besar) juga dikalangan maysrakat yang merasa hak miliknya merasa terebelenggu oleh ketentuan nomer urut selama ini, terkesan hanya mengunutngkan mereka yang berada di nomer atas yakni caleg nomer urut satu dan dua saja. Namun, nada miring juga terhembus dari kaum perempuan yang mersa termarginalkan dengan putusan mk tersebut dalam artian kaumperempuan dirugikan dengan ketentuan suara terbayak tadi, rasionalisasinya jelas bahwa caleg perempuan dipaksa harus berkompetisi secara ketat dengan caleg laki-laki yang lebih dominan. Meski demikiam KPU sebgai penyelengkara pemilu seperti yang dilontarkan oleh ketua KPU Hafidz anshary bahwa KPU akan mengekuarkan kebijakan yang dinamai affermatif action yaitu peraturan ynag memuat jika dalam satu daerah pemili terdapat tiga caleg yang menang dengan memenuhi kouta 30% maka salah satu dari ketiganya adalah perempuan.
Lepas dari perdebatan itu bahwa hiruk pikuk pesta demokrasi 2009 kian marak diselurh tanah air, hal tersebut ditandai dengan menjamurnya alat peraga kompanya seperti poster ,striker dan baliho para calon anggota legeslatif yang terpasang semua tempat. Hal tersebut dapat di pahami mengingat waktu pemilihan umum langsung seperti pileg akan dihelat sekitar bulan april dan untuk pilpres direncanakan berlangsung pada juli-agustus 2009 mendatang, walaupun hal tersebut terkesan melanggar aturan kampanye yang di tetapkan oleh penyelenggara pemilu. Pemilhan umum merupakan salah satu bentu dan sarana per wujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis dan legitimite. Penyelenggaraan pemilu di Indonesia diamanahkan dalam pasal 22E UUD 1945, yang kemudian dibenutuk undang-undang pemilu no. 10 tahun 2008. Pemilu dilaksanakan secara langsung , umum, bebas dan rahasia dengan menganut asas mandiri, jujur, adil, ke[astian hokum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, akuntabilitas, efesiensi dan efektifitas
Dalam pesta demokrasi tersebut melibatkan para pihak sebagai kontestan pemilu, baik partai politik maupun perorangan. Selain melibatkan para pihak dalam pemilu juga timbul berbagai kepentingan yang bertuju pada kepentingan pemilu, sehingga para pihak saling berusaha bagaimana cara agar dapat memperoleh suara sebanyak banyaknya dan dapat terpilih atau memenangi pemilu. Mekanisme dan tatacara pemilu telah di tetapkan dalam peraturan perundana undangan, namun demikian di dasari rasa kepentingan untuk menang dan terpilih tersebut , maka tidak menutup kemungkinan cara cara yabg ndilakukan bertentangan dengan peraturan perundang undangan dan merupakan suatu pelanggaran hokum. Di dalam tindakan merebut kemenangan tersebut kemenangan tersebut kadang lupa atau bahkan di sengaja bertindak melawan hokum demi kepentingan yang ingin dicapainya.
Pasca putusannya Mahkamah Konsititusi (MK), yang memuat aturan penetapan caleg dengan tidak lagi berdasrkan nomer urut, jelas menimbulkan konsekkuensi. Salah satunya adalah semua caleg yang sudah masuk sebagai daftar tetap (DCT) jelas akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendapatKAN dukungan suara sebanyak-sebanyaknya. Inilah yang kemudian menjadi perhatian utama saat ini, sebab persaingan untuk mendapatkan suara tidak hanya terjadi antar caleg lintas parpol tetapi juga akan terjadi pertarungan antar caleg dalam satu parpol. Putusan MK memberikan peluang memberikan peluang yang sama kepada setiap caleg berpotensi menimbulkan kecurangan, pelanggaran hokum maupun konflik pemilu, apalagi denhgan banyaknya kontestan parpaol dalam pemilu 2009 mendatang. Di propinsi NTB misalnya terdapat38 parpol peserta pemilu dan sekitar 420-an caleg, sementara kursi yang diperebutkan hanya 10 kursi. Sudah bisa dibayangkan bagaimana persaingan dan gesekan politik kepentingan antar calegmaupun parpol akan terjadi dengan tensi politik yang tinggi dalam pemilu 2009 ini. Pelanggaran kampanye jelas sesuatu yang akan terjadi di tengah persaingan yang begitu ketat.
Selain daripada permasalahan diatas, juga terdapat banyak hal yang bias memicu besarnya konflik, yaitu kebingungan masyarakat terkait dengan pereturan KPU no 37 2007 tentang contreng atau coblos. Apakah keduanya bias dianggap sah atau salah satunya saja yang sah. Contreng atau coblos partai atau gambar calon atau salah satunya. Sepertinya hal tersebut masih menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan masayarakat, utamanya masyarakat keleas bawah. Tentu saja hal itu juga akan memberikan warna tersendiri bagi kesemberautan ini. Potensi konflik jelas akan sangat besar.
Dalam beberapa kasus ditemukan, biasanya pelanggaran kampanye pemilu lebih dominan pada tindakan yang disengaja. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain; factor yuridis, yakni tingkat kesadaran peserta, pelaksana, dan petugas pemilu untuk menaati aturan hokum; factor sosiologis, adanya suatu kepentingan demi tercapainya kemenangan, segala cara dilakukan untuk dapat memenangkan pemilu, adanya persaingan ketat antar kontestan; factor psikologis, adanya power (massa) dan penggunaan kesempatan yang tepat. Factor-faktor tersebut dominan dan mendorong dilakukannya pelanggaran hokum dalam kampanye pemilusehingga endingnya terjadi konflik dan kekerasan dalam pemilu.
Oleh karena demikian maka untuk mencegah/mewaspadai terjadinya potensi konflik pemilu mendatang, peran berbagai npihak sangat penting untuk menjaganya, hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan patia pengawas pemilu yang bekerja secara maksimal. Terjadinya transformasi dari pola rezim birokratik ke oligarki partai niscaya harus didorong. Selain itu pemerintah dalam konteks pemilu berperan sebagai actor akomodasionis dan fasilitator serta menghindari cara-caraintervensionis. Sementara panwaslu diposisikan sebagai lembaga yang berdampingan dengan KPUD dan berfungsi sebagai internal control terhadap penyelenggaraan pemilu. Adanya rumusan tatib kampanye yang elegan da humanis adalah suatu keniscayaan untuk menciptakan kampanye damai pada pemilu 2009 salah satunya adalah dengan cara dialogis seperti ini lebih bagus ketimbang kampanye pengerahan massa berlebihan yang justru banyak efek negative seperti provokasiyang dapat mendorong terjadinya konflik antar pendukung caleg, capres, maupun parpol. (Arifudin, SH.)

[+/-] Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bg