Sabtu, Januari 31, 2009

Bentuk Lain “Pelecehan” Perempuan

expr:id='"post-" + data:post.id'>
Keputusan MK untuk menindaklanjuti masalah keterwakilan perempuan yang ada dalam UU No 10 th 2008, terkait penyusunan caleg yaitu sekurang-kurangnya terdapat 1 calon dalam tiga caleg yang disiapkan parpol. Hal ini akan di tindak lanjuti oleh KPU dengan membuat peraturan KPU terkait dengan penetapan calon terpilh, bahwa ketika ada 3 orang caleg yang memenuhi quota 30% dalam satu dapil, maka salah satunya adalah perempuan, hal ini kemudian disebut sebagai afirmatif action yang tentu saja mengundang banyak reaksi dari berbagai kalangan, lebih-lebih yang berkepentingan (politisi, parpol dll). Kontroversi pasal tersebut terletak pada substansi yang memberatkan kaum laki-laki yang berbunyi; “ketika dalam satu dapil ada 3 orang yang memenuhi qota 30% maka salah satunya adalah perempuan”. Keadaan ini kita pahami sebagai afirmatif action, dimana hanya diciptakan sementara waktu untuk menciptakan keadaan yang benar-benar “fair” antara laki-laki dan permpuan dalam system politik Indonesia. Hal ini dipridiksi akan menimbulkan potensi konflik baik antar caleg lintas parpol maupun sesama parpol serta antar caleg perempuan dan laki-laki.
Landasan MK dalam putusannya tersebut mengacu pada UUD 45 pasal 28H ayat (2)“setiap orang berhak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Letak kontroversialnya adalah bahwa caleg perempuan lebih dimanjakan dengan adanya keputusan tersebut. Disatu sisi juga UU sudah direvisi menjadi system proporsional terbuka (suara terbanyak) dimana setiap caleg sama-sama punya peluang yang sama untuk menjadi meraih suara sebanyak mungkin, dan jadi. Berbeda sekali ketika memakai system nomor urut yang menguntungkan caleg dengan ‘no jadi’.
Dalam uu partai politik juga terdapat hal yang relative ‘’sama, yakni mengharuskan keterlibatan 30% perempuan dalam kepengurusan parpol. Pertanyaannya adalah, apakah itu akan berdampak positif bagi perempuan atau pun parpol? Saya piker keterlibata perempuan dala politik sebenarnya tidak terlalu urgen, berbeda dengan kemiskinan dan pengangguran yang harus kita selesaikan pokok permasalahannya. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan. Lebih-lebih itu bukannlah murni aspirasi kaum mayoritas perempuan. Bagaimana kalau hal itu dipaksakan sementara kurang dari 30% perempuan Indonesia yang terjun di politik. Atau bahkan hanya 0,sekian persen saja.
Banyak regulasi yang sepintas terlihat ingin memperjuangkan hak-hak perempuan. Tapi kalau kita mau berpikir dan analisa kembali, sebenarnya justru regulasi itu akan membuat perempuan yang notabene punya sifat ‘manja’ akan semakin manja. Perempuan yang relative lebih ‘lemah’ dari laki-laki justru akan semakin lemah. Dan ironisnya, justru tidak ada dari pihak perempuan yang protes akan “pelecehan” ini. Para aktivis perempuan justru merasa nyaman dengan situasi yang sebenarnya akan membawa mereka pada titik yang akan mematikan girah perjuangan hak-hak mereka.
Kalau kita mengacu pada AS, keterlibatan perempuan yang benar-benar setara haknya dalam pilitik diperoleh dalam waktu yang relative lama, 60-an tahun. Para perempuan benar-benar berjuang untuk memperoleh haknya tanpa “intervensi” dari pihak manapun. Sehingga wajar kalau politisi perempuan disana benar-benar kuat, sekuat laki-laki. Hal tersebut karena kesulitan-kesulitan yang mereka perjuangkan sebelumnya, budaya patriarki. Bukan kita harus mencontoh AS dengan demokrasinya yang begitu matang, tetapi setidaknya kita coba untuk mengambil pelajaran dari pengalaman bangsa lain yang sudah maju.
Menurut penulis, kekuatan perempuan baik dipolitik atau dalam hal apapun akan lebih terasa bila hak itu diperoleh dengan perjuangan “panjang”. Dimana motivasi perempuan memang timbhul dari mayoritas perempuan Indonesia yang merasa perlu untuk mendapatkan keterlibatannya dalam politik. Toh tanpa aturan afirmatif action dan regulasi yang memudahkan yang lain itu pun, tidak ada peraturan yang melarang perempuan untuk berpolitik. Jadi, hal itu tidak perlu. Atau mungkin perempuan yang menerima itu hanya terjebak pada kepentingan jangka pendek yang justru merugikan kebangsaan kita. Jangan-jangan aturan itu hanyalah disiapkan untuk para caleg artis perempuan yang banyak jadi politisi instan dalam parpol? Kalau itu benar, maka betapa ironisnya bangsa kita. Salah atau benar, dugaan itu hanyalah pikiran yang muncul bersama setumpuk pertanyaan lain yang timbul dari kesembrautan system politik kita yang bikin banyak orang stress.
Kemudahan-kemudahan yang diperoleh perempuan dalam system politik kita, maupun regulasi yang diwacanakan dan disiapkan sebenarnya hanya salah satu bentuk lain dari pelecehan terhadap perempuan. Hal itu sama saja dengan mengatakan “perempuan ini kan lemah, kita kasih aturan yang ringan-ringanlah” atau “kasihan perempuan kalau harus sama dengan laki-laki, kita ngalah saja lah”. Tepatnya lagi, menurut saya hal itu adalah penghinaan dan pelecehan perempuan secara “konstitusional”.

[+/-] Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bg