Jumat, Desember 26, 2008

Politik & Perilaku "Apolitik"

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Akhir-akhir ini, masyrakat kita banyak yang apatis bahkan benci dengan kata politik, hal itu ditandai dengan semakin tingginya angka golput pada setiap momen pilkada. padahal seharusnya tidak demikian kalau kita mau melihat makna politik secara mendalam. Menurut hemat saya, politik sebenarnya merupakan alat pendamai konfli (insya allah juga diamini oleh beberapa pakar), maka dengan demikian ia adalah sesuatu yang integral dalam masyarakat manapun. Kita sering kali terjebak dengan sesuatu yang sebenarnya kita tidak tahu. Imam gazali berpandangan bahwa politik adalah kebijaksanaan, begitu dalam penggalian makna Al-gazali sehingga berlawanan dengan pemahaman masyarakat umum, bahkan politisi kita sehingga terdengar sangat kontras dengan dengan pandangan masyarakat dan fakta politik kita. Artinya banyak para pelaku politik yang hanya berambisi meraih kekuasaan, nah ini masih wajar. Nah yang menjadi tidak “wajar” adalah ketika kekuasaan yang dicapai tidak digunakan ssebagaimana mestinya (mensejahterakan rakyat).

Berpijak dari pandangan bahwa politik adalah kebijaksanaan (dan memang seharusnya begitu), maka seyogyanya pelaku-pelaku politik adalah orang-orang yang bijak. Disinilah susahnya, karena system politik kita jauh dari kebijaksanaan (baca; untuk mensejahterakan rakyat). Karena untuk menjadi bijak kita haruslah mengerti. Untuk mengerti, kita harus merasakan, untuk merasakan kita harus mengalami. Artinya para politisi (baik yang sudah menjadi penguasa, professional, maupun aktivis) haruslah benar-benar mengerti apa yang diingini, atau yang menjadi aspirasi rakyat serta bisa mengarahkan rakyat ke arah yang lebih baik.

Dilandasi pandangan bahwa politik adalah sesuatu yang integral dalam masyarakat, maka kita tidak bias tidak harus menjadi bagian di dalamnya. Maka membenci dan “alergi” terhadap politik sebenarnya merupakan sikap yang tidak bijak. Karena semestinya, kesalahan-kesalahan yang kita lihat haruslah diselesaikan oleh semua pihak, termasuk masyarakat dengan mengoreksi setiap perilaku yang “apolitik”.

Perilaku “apolitik” ini, menurut hemat penulis sangat jelas terlihat dari fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita. Hal itu ditandai dengan berbagai penyimpangan-penyimpangan oleh para pejabat public yang terus marak terjadi. KKN merupakan contoh kongkret, maka terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif baik di level pusat maupun daerah, merupakan tusukan yang sangat dalam bagi masyarakat mengingat wakil-wakilnya sudah berkhianat.

Walaupun demikian, hal itu tidak sepenuhnya menjadi koreksi politisi, maupun masyarakat dengan mengubah cara pandang dan sikap politiknya. Politisi misalnya, masih saja dengan pola-pola lama, tidak mau tahu dengan segala akibatnya pada masyarakat secara umum. Mereka hanya berorentasi pada kepentingan pribadi dank kelompok tertentu, yang hal itu akan membahayakan terhadap rasa kesatuan dan persatuan. Kita sering menyaksikan para penjabat yang tersandung kasus korupsi, baik yang berstatus sebagai tersangka maupun yang sudah terdakwah, masih bias tertawa dan tersenyum. Bahkan masih bias mendapatkan fasilitas yang istimewa didalam penjara, walaupun ada sebaian yang merasa malu. Seorang Bupati Lombok yang sampe terkencing-kencing di pengadilan ketika diadili, misalnya. Menurut saya itu justru sesuatu yang wajar dan normal bila terjadi pada kita yang masih punya urat malu.

Demikian juga halnya dengan masyarakat, masih saja dengan sikap “kurang cerdas” merespon fenomena-fenomena itu. Seharusnya masyarakat sudah tidak lagi dengan sikap hanya mengamini omongan para politisi busuk itu. Rasionalitas dalam mengambil sikap sangat diperlukan. Masyarakat harus berani memberikan penilaian dan sikap rasional terhadap sesuatu sesuai dengan pilihannya, tidak hanya dengan mengamini para kiai, ustadz, tokoh masyarakat, yang mungkin merupakan kepanjangan tangan dari politisi busuk. Artinya akal sehat benar-benar difungsikan untuk menyaring informasi, profokasi dan propaganda oleh berbagai pihak. Kalau tidak demikian, maka masyarakat masih tergolong bias dikatagorikan juga dengan berperilaku “apolitik” atau menyimpang, “abnormal”, jahiliyah dll. Maka jangan bersikap seperti itu kalau ingin masuk sorga (yang ini guyon).

Oleh karena itu, deklarasi gerakan pemilih cerdas yang dilakukan oleh PB HMI beberapa waktu yang lalu adalah salah satu solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Sebagai elemen penting, mahasiswa memang selayaknya juga mengambil sikap dan peran dalam hal ini. Maka siapapun yang masih mempunyai gagasan cemerlang sepatutnya kita dukung demi terciptanya system politik yang lebih baik kedepan. Hingga pada akhirnya kita bias menikmati seperti kedewasaan berpolitik di Amerika (walaupun aspek-aspek lain mereka belum dewasa).

Saya kira, 2009 adalah momentum yang tepat untuk merubah paradigma, sikap, dan perilaku “apolitik” menjadi paradigma dan perilaku politik yang lebih dewasa dan bermartabat paling tidak untuk lima tahun kedepan. Dan begitu seterusnya…

[+/-] Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bg