Rabu, Desember 24, 2008

DEMOKRASI UGAL-UGALAN

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Ada apa dengan demokrasi kita? Kita sadari kondisi saat ini adalah efek masa lalu bangsa indonesia yang kelam. Orde baru adalah mimpi buruk yang kita sepakati untuk ditinggalkan (baca: sistem pemerintahan). Selanjutnya kita menapaki jalan terjal feformasi yang juga tidak terlalu signifikan merobah mimpi bangsa ini, salah satunya misalnya dengan melihat kwalitas demokrasi kita yang kata orang kebablasan. Ada apa?

Demokrasi Semu

Inilah masa transisi demokrasi kita, dimana semuanya akan mengawali mimpi bangsa ini ke arah yang lebih baik dalam berdemokrasi dengan cacatan kita bisa menjadi pelaku demokrasi yang baik. Masa ini merupakan awal menapaki perjalanan sebagaimana diamanatkan oleh deklarasi reformasi ‘98, salah satu isinya adalah demokrasi. Hasil yang baik akan diperoleh dari proses yang baik pula, begitu pula demokrasi, saat ini adalah momen memperkokoh demokrasi bangsa ini.

Kalau kita lihat sepintas, dewasa ini kita temui banyak perbedaan dibanding dengan jaman ORBA yang otoriter atau orla dengan demokrasi terpimpimnya. Kita baru merasakan angin segar kebebasan sampai akhirnya kebablasan. Coba kita lhat lebih jauh lagi dalam implementasi nyata, pilkada misalnya sebagai aplikasi dari demokrasi kita, atau lain-lainnya.

Dalam beberapa pikada yang lalu-lalu, kita temui banyak sekali hal-hal yang menggelitik kalau mencermati tingkah elite politik kita yang kekanak-kanakan. Moral ternyata menjadi masalah tersendiri bagi bangsa kita saat ini. Mental korup pejabat publik yang kentara masih juga dipilih walau jelas tampak dari style yang elitis seakan bersih dari dosa.

...............................................

Pers Tidak Independen

Sudah menjadi rahasia umum, kalau saat ini berita dapat dipesan. Hasilnya, berita akan terbit sesuai dengan pesanan pemilik uang. Opini publik dibentuk sesuai dengan pesanan, walaupun hal itu akan memporak-porandakan kondisi sosial kita. Yang benar bisa jadi salah, begitu sebaliknya. Kesimpulannya, yang kuat secara fgfinansiallah yang bisa mengendalikan berita, dan salah atau benar itulah yang akan menjadi opini publik. Yang korup bisa diberitakan suci, sebaliknya yang lugu bisa jadi tersangka kasus korupsi.

Inilah yang patut menjadi kehawatiran kita bersama. Pers merupakan salah satu kunci tegaknya demokrasi, maka ketika pers tidak bisa memposisikan diri sesuai porsinya jangan harap demokrasi akan tegak, karena ia hanya akan menjadi alat bagi orang2 berduit dan punya kekuasaan.

Manipulasi data juga banyak dipraktekkan. Lembaga ini mengatakan A, lembaga itu mengatakan Z. Yang ini milik siapa, yang itu milik siapa, maka hasilnya sesuai dengan keinginan sang pemilik sesuai dengan kebutuhan politik. Kita tahu, makna plitik sudah mengalami reduksi yang sangat dalm kawan!

Pers seharusnya dapat memberikan kontribusi positif bagi bangsa melalui sajian2 yang objektif dan mendidik. Tanpa itu kwalitas demokrasi kita hanyalah sebatas kulit, tidak mengena pada substansi. Ini memang proses, seperti amerika yang sudah menjalaninya 200 th. Kita tidak akan menunggu selama itu, karena mungkin besok atau lusa negeri kita sudah tidak lagi indonesia tau dari sabang sampai merauke akibat demokrasi kita yang murahan. Apapun bisa dibeli, jabatan, gelar, suara, dan lain2. maka lebih pantas demokrasi kita kalau diberi label demokrasi cap kentut.

Disinilah pentingnya pers kontrol, agar masyarakat dapat melihat dengan benar apa yang terjadi pada bangsa ini, sehinggga dengan demikian masyarakat akan memperbaiki situasi ini secara tidak langsung. Ketika itu tidak tercapai, maka masyarakat tidak akan percaya pers, sehingga akan apatis dan selanjutnya fungsi pers menjadi tumpul dan karatan tak ada guna. Masyarakat akan tambah bingung kehilangan pegangan dan tidak tahu kemana sebenarnya arah bangsa kita akan berlayar. Maka stake holder2 bangsa ini sebagai nahkoda seburuk apapun harus diketahui publik agar bangsa ini tidak karam, siapa tahu penumpang yang ada dibelakang bisa menggantikannya, mungkin lebih handal.

Pembodohan Massa

Berita2 yang diterima masyrakat yang sudah dipesan (baca; berita rekayasa) tentunya akan diserap dan akan membodohkan masyarakat. Selain itu juga tindakan elit kita yang selalu menghalalkan segala cara dalam meraih dukungan. Pilkada misalnya, praktek politik uang bukan rahasia lagi, akan tetapi sudah menjadi hal lumrah bahkan wajib dilakukan agar menang. Buaian janji2 plitisi yang gombal masih terlihat terlalu norak. Konspirasi tidak sehar antar elit begitu kentara, sehingga sebenarnya juga tidak pantas dikatakan sebagai konspirasi, yang menurut pemahaman sederhana penulis adalah gerakan jalan pintas yang seharusnya tidak bisa dietahui banyak orang. Trik-trik plitik yang tidak wajar, hanya beroentasi jangka pendek, yang penting menang! Selanjutnya akan mengalir begitu saja, tanpa arah tujuan yang jelas yang akan membawa kita semua ke jalan yang benar, sejahtera.

Kini semuanya sudah terlalu jauh melenceng. Bahkan orang yang dianggap suci bisa jadi alat pembodoh rakyat. Dengan topeng kapasitas suci yang disandang seorang ustad atau kiai dapat menjadi alat politik politisi jahannam dengan kekuatan uangnya. Lalu apa yang sebenarnya kita cari? Inilah kondisi mental kita yang mugkin sudah akut untuk diperbaiki.

Dengan uang, politisi bisa berbohong yang akan menjadi kebenaran sabda bagi banyak orang. Inilah dosa yang mungkin tidak ada tobatnya.

Perlu Pendidikan Politik

Kondisi tersebut sepatutnya menjadi bahan bagi kita untuk segera membelokkan arah ke jalan yang sebenarnya. Maka saat ini kita penting memberikan pelajaran politik bagi masyarakat agar politisi tidak mudah membohongi rakyat dalam pilkada khususnya, serta pesta demokrasi lainnya pada umumnya. Diperlukan jiwa ksatria untuk bisa merubah keadaan ini. Karena lawannya adalah oknum pemerintah yang mungkin bisa dengan sangat kejam menghentikannya bahkan dengan jalan menghabisi nyawa sekalipun.

Peranan LSM, mahasiswa, serta organ-organ yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah mutlak sangat urgen. Tapi sebelum itu semuanya harus memoles diri menjadi ksatria anti uang, anit, peluru dan tentu saja bermental baja. Hanya dengan begitu kita bisa menjalani mimpi yang seharusnya kita jalani, mimpi akan demokrasi yang indah. Maka secara tidak langsung gerakan ini akan menjadi gerakan anti pemerintah yang siap digebrak kapan saja. Tapi yakinlah bahwa hanya dengan ini kita akan menikmati negeri yang kaya ini dengan perlahan.

Haya ada dua pilihan. Pertama, melawan tirani secara frontal, atau dengan cara yang lebih halus, yaitu; memberikan pencerahan kepada masyarakat. Ketika gerakan ini mssif, maka akan menjadi satu kekuatan baru yang mungkin akan laku keras kalau dijadikan senjata politik, misalnya. Intinya adalah kejujuran pada hati nurani kita dan masyarakat pada umunya. Dengan apatisnya masyarakat kepada pemerintah, maka ketika ada warna baru yang lebih menjanjikan, pilihan masyarakat akan berubah.

Supremasi Hukum

Demokrasi kita yang kebablasan juga tidak lepas dari peranan penegak hukum yang mandul. Tebang pilih dalam hukum sudah biasa. Bahkan masyarakat awam sekalipun dengan cerdas sudah bisa menebak siapa pemenang dalam kasus tertentu di persidangan. Banyak uang, dekat dengan orang kuat, orang kuat sudah bisa dipastikan akan menjadi pemenang, proses peradilan hanya formalitas saja. Sengketa pilkada misalnya, intervensi elit pusat sangat mungkin mendominasi seperti pada pilkada sulsel yang dimenangkan calon dari golkar. Faktanya, bahwa tidak ada aturan yag mengatur sengketa pilkada di daerah bisa diambil alih oleh KPU pusat atau MA. JK ditangarai sebagai orang yag ada dibalik semua itu, sangat beralasan ketika kita lihat fakta-fakta diatas.

Adanya opini publik pemerintah tebang pilih soal hukum sangat mungkin benar. Hukum kita sudah terkontaminasi poliitk, U orang siapa, kalau bukan orang kita sudah pasti ditebang. Lagi-lagi masalahnya adalah mental. Dari orba ke reformasi yang sangat singkat kita sudah akan kembali lagi ke orba yang baru dengan bungkusan demokratisasi’.

[+/-] Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bg