Senin, Desember 22, 2008

Politisi, Selebritas & Kepemimpinan Ideal

expr:id='"post-" + data:post.id'>


Oleh: Nurullah

Kemenangan calon kombinasi politisi yang murni kader parpol dengan 'politisi selebriti' dalam beberapa pilkada merupakan fenomena yang mengundang daya tarik dalam pepolitikan Indonesia walaupun sebenarnya bukan hal yang baru dalam strategi taktik pemilu dari jaman orde baru maupun negara-negara maju seperti Amerika, misalnya. Menurut Eep Saefulloh Fatah (KOMPAS, 22 /01/ 2008), fenomena selebriti berpolitik bukan barang baru lagi di Indonesia, entah itu menjadi alat politik atau benar-benar terjun ke dunia Politik. Selebriti menjadi alat politik jamak kita jumpai di masa Orde Baru, dimana Golkar menggunakan sejumlah selebriti sebagai pendulang suara ketika melakukan kampanye. Bahkan secara terang-terangan menggunakan organisasi profesi artis semacam PARFI dan PAPMI sebagai salah satu kendaraan politik. Setelah era reformasi, fenomena ini justru semakin menguat. Sebagaimana ditulis Eep Saefuloh Fatah, pada pemilu 2004 dari sekitar 30 selebriti yang memperebutkan kursi Legislatif, enam selebriti berhasil menjadi anggota legislatif.

Konsekwensi Demokrasi

Bukan hanya kursi legislatif yang menjadi incaran para selebriti. Arena pertarungan politik mereka justru meluas, yakni memperebutkan jabatan Kepala Daerah. Tentu kita masih ingat dengan perjuangan Marissa Haque mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Banten meski akhirnya kalah melawan incumbent. Dan terakhir Rano Karno memperoleh kemenangan suara dalam pemilihan Wakil Bupati Banten.

Menurut John Street Terdapat dua jenis “politisi selebriti” yaitu: (1).Para pejabat publik yang berlatar belakang dunia hiburan, bisnis pertunjukkan ataupun olahraga. (2). Para selebriti yang menggunakan “panggung” keartisan untuk menyuarakan “kepentingan” politik.

Kalau diluar negeri kita tau keberhasilan Arnold "Sang Terminator" berhasil menjadi Gurbenur California, ditingkat lokal ada Rano Karno "Si Doel" yang sukses menjadi Wakil Bupati Tanggerang, Ada juga Dede Yusuf yang sekarang sukses menjadi wakil Gurbenur Jawa Barat.

Fakta diatas membuat kita kadang berfikir, bisakah seorang selebriti untuk memimpin? Ini tidak terlepas dari adanya perbedaan secara substantif dari sudut pandang profesionalisme. Politisi dan artis mempunyai perbedaan walaupun sepintas perilaku keduanya cenderung tidak jauh beda bila kita lihat dimedia baik cetak maupun elektronika. Bahkan perisiden kita SBY sudah merilis album beberapa waktu yang lalu, ini semakin menguatkan citra politisi kita cenderung mengarah pada perilaku selebriti. Akan tetapi itu sah-sah saja, apapun berhak dilakukan oleh siapapun sejauh itu bisa dipertanggung jawabkan. Biarkan rakyat yang menilai baik buruknya. Sebagaimana rakyat berhak memilih selebriti sebagai pemmipin mereka.

Dalam beberapa kesempatan diskusi ringan kawan-kawan, fenomena ini memunculkan guyonan bahwa selebriti harus kita cegah agar tidak masuk sebagai pemain dalam politik, teman saya punya alasan bahwa selebriti sudah menguragi porsi aktivis dalam posisi-posisi strategis. Akan tetapi apapun alasannya, baik suka atau tidak suka kita sadari bahwa inilah konsekwensi dari bergulirnya demokrasi di negeri ini.

Hak berpolitik merupakan hak dasar dari semua warga negara Indonesia. Tanpa melihat siapa dan bagaimana latar belakang orang tersebut, entah itu selebriti atau kiai karena dalam Undang-Undang pun hal ini sudah dijamin dan disahkan secara konstitusional. Melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, ada sebuah hal yang menarik untuk diperhatikan, yaitu keberhasilan dari Partai-Partai Politik yang memiliki anggota atau partisan politik dari kalangan selebritas atau artis.Dan ternyata strategi mengaet artis sebagai penarik massa cukup sukses. Selebritis sudah menjadi komoditas yang penting yang juga menentukan sukses atau tidaknya tujuan politis dari yang berkepentingan.

Simbiosis Mutualisme

Politisi sebagai individu penggerak parpol selalu lekat dengan visi misi parpol selain juga visi personal menjadi bargaining politik tersendiri dalam konstalasi politik nasional maupoun lokal. Terlepas benar atau tidak, itulah yang sering kita dengar dalam kampanye-kampanye mereka. Kenyataan bahwa tidak selalu visi misi serta nilai-nilai yang menjadi modal ini bisa tersosialisasikan ke publik tanpa adanya peran media secara massif, sebagus apapun juga kualitas leadership seorang juga akan mengalami kegagalan tanpa media. Inilah yang menjadi nilai tawar tersendiri bagi selebriti untuk menjadi 'politisi instan', walaupun secara kualitas belum bisa dipastikan.

Intinya, sebagus apapun kualitas personal serta leadership seorang politisi tidak pasti ia populer dimata masyarakat sebagaimana selebriti yang lekat dalam benak khalayak. Selebriti dalam konteks ini hanya berfungsi sebagai pendongkrak kepopuleran saja walaupun tidak sepenuhnya begitu. Kombinasi ideal...

fakta lainnya juga, duet politisi-selebriti ini tidak hanya terjadi dalam pencalonan kepala daerah saja, tapi juga pada wilayah perkawinan. Bahkan mulai dari anak sampai cucunya pun ikut-ikut, sampai ada yang beberapa kali menggilir satu demi satu. Entah apa yang menjadi alasan kecocokan keduanya, yang jelas sangat politis (mungkin!).

Menurut pengamat, satu hal yang tak terlupakan bahwa faktor kemenangan Ahmad Heryawan misalnya, tertumpu di pundak Dede Yusuf. Hal itu tampak pada tayangan iklan kampanye di televisi yang menampilkan sosok Dede Yusuf, tanpa dominasi figur Ahmad Heryawan. Suatu gerakan yang cukup cerdik, Dede Yusuf memunculkan diri sebagai seorang muda yang memiliki visi yang lebih segar yang juga menjadi faktor kemenangannya. Mantap!!

Hal menarik dari kemunculan Dede Yusuf dalam iklan adalah sikapnya yang alami. Mungkin karena latar belakang sebagai bintang televisi, membuat Dede Yusuf kelihatan sangat menyatu dengan peran yang dilakonkannya di setiap iklan kampanyenya (memang sudah insting seorang selebriti). Eksistensi profil Dede Yusuf secara individu, tanpa Ahmad Heryawan, cukup efektif menyerap perhatian calon pemilih yang menghendaki perubahan dan kaum muda yang memprojeksi diri mereka seperti sang calon pemimpin muda, Dede Yusuf. Inilah kelebihan selebriti paling tidak menurut penulis, bahwa politisi memang kurang bisa bersaing soal acting dibanding selebriti yang notabene merupakan dunianya. Terlepas apakah Dede Yusuf hanya sekedar acting (seperti memerankan seorang hero yang disukai rakyat dalam film) atau tidak, tapi ia sudah berhasil. Semoga seterusnya bisa beracting sampai masa akhir jabatannya. Amin....!

Satu hal lagi yang tidak bisa kita abaikan dalam kemenangan ini bahwa Dede Yusuf yang telah melekat di benak pemirsa televisi sebagai Pangeran Bodrex yang berjuang membantu pemirsa menghilangkan pusing dan sakit kepala. Pada masa tenang, menjelang pilkada, Pangeran Bodrex tetap datang ke pemirsa mengampanyekan penawar sakit yang ampuh. Sehingga inilah yang menjadi faktor utama dari drama kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jabar.

Kesimpulan sementara penulis, kaderisasi dan ketenaran adalah kunci dari kemenangan ini. Selain juga dibantu oleh mesin politik yang solid dari PAN dan PKS yang relatif mempunyai kesamaan. Kader-kadernyapun sama-sama militan, sehingga dengan kerelaan hati bekerja tanpa dibayar dalam kampanye.. Semangat kawan...!

Mencari Kepemimpinan Ideal..?

Menurut pengamat, prilaku pemilih cenderung berubah, terlepas apakah salah atau benar. Dari yang tua berubah yang muda, dari 'politisi murni' beralih ke 'politisi selebriti' (maaf ga' punya istilah yang lebih populer, katanya bung sur'an tidak referensif!). Hal ini menurut hemat penulis merupakan satu sikap politik masyarakat yang sangat positif, yakni mencoba “corak’ pilihan baru demi mencari pemimpin-peminpin yang benar-benar ideal dan bisa bertanggung jawab atas nasib orang banyak, bukan nasib perut sendiri, keluarga tau golongan tertentu.

Sikap politik masyarakat yang menurut saya bisa dikatakan sebagai Try And Error atau coba-coba ini dapat mengubah sistem politik kearah yang lebih baik. Masyarakat benar-benar menggunakan ‘fasilitas’ demokrasi dalam hal ini walaupun pilihan mereka sebenarnya juga belum tentu tepat. Aspek positif lainnya adalah adanya kompetensi secara positif dan sehat antar parpol serta benar-benar mengkader kadernya sesuai keinginan rakyat (maksud penulis bukan berarti dikader jadi selebriti lo).

Sikap partai seharusnya dalam menyikapi perubahan perilaku pemilih adalah mengkader kadernya menjadi individu-individu yang amanah, tabligh, fatanah, siddiq. Empat sifat inilah yang mestinya melekat (kalau idak melekat, dipaksa dilekatkan) pada kader-kader parpol sebagai generasi penerus bangsa. Sebagaimana rasulullah yang sukses meng-Islam-kan dunia dengan modal empat sifat tersebut. Fakta bahwa Indonesia sebagai negara mayoritas muslim seduni tidak bisa dipungkiri, ironisnya sifat-sifat kepemimpinan tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang yang juga notabena tidak kebagian jatah dalam posisi strategis. Terbukti banyak korupsi dilakukan pemimpin-pemimpin pusat dan di daerah-daerah (dengan adanya perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi).

Kemenangan pasangan calon politisi-selebriti bukanlah kemenangan sebenarnya, yaitu mengahiri penderitaan rakyat yang selama ini cukup memprihatinkan. Tentu saja sang pemenang sudah ada pada satu tahap kemengan, dalam hal ini posisi atau jabatan, tapi bukanlah jaminan posisi dapat difungsikan sebaik mungkin sesuai keinginan rakyat (paling tidak menurut penulis inilah yang disebut kemenangan sejati). Artinya, duet calon politisi-selebriti walapun ideal dalam pemenangan secara politis, akan tetapi tidak bisa automatically menjadi pemimpin yang ideal, bukan begitu......?

Memang diakui atau tidak seorang kepala negara ataupun kepala daerah seperti selebriti, berkharisma dan berwibawa selagi masih berkuasa, kemudian ditinggalkan dan diabaikan setelah kekuatannya habis, seperti selebriti yang berkharisma karena kenekatan, kecantikan bahkan goyang pinggulnya.

Kepandaian dan keintelektualan tidak begitu penting bagi seorang kepala daerah atau kepala negara. Nabi saja pernah bersabda, ”kamu lebih mengerti urusanmu”. Kalau saja seorang pemimpin harus intelek, kenapa para filosof, pemikir jarang sekali menjadi pemimpin negara. Memang ada, tapi pasti gagal, Gus Dur misalnya. Itulah yang membedakan antara kalau boleh dibilang seorang guru bangsa, kiai, pemikir dengan seorang pemimpin negara.

Seorang pemimpin negara (bukan pemimpin komisariat atau paguyuban ha.. ha..) selain mempunyai empat sifat “kenabian” diatas juga harus mempunyai kekuasaan dan kekuatan sehingga ia lebih berani dan cerdik. Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun karena kecerdikannya, kalau tidak cerdik mustahil bisa selama itu kan? (ini tidak berlaku di komisariat, kalau pemimpin/pengurus komisariat wajib kedua-duanya, intelek, berani dan cerdik. Kalau tidak, perkaderan bisa ga' jalan dul!)

Kepemimpinan yang ideal dalam kontek Indonesia saat ini, selain empat sifat wajib diatas haruslah diuji dengan penyelesaian masalah-masalah kebangsaan yang semakin kompleks. Baik dari dimensi politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan serta hubungan internasional tentunya.

Tugas paling real pemimpin saat ini bukan hanya mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan (apalagi dengan manipulasi data) serta kenaikan pangan, tapi juga meminimalisir angka antrean. Antrean minyak tanah dan antrean elpiji serta antrean bunuh diri karena frustasi akibat kesulitan hidup. Paling tidak itulah hal paling riil yang harus segera diselesaikan la..... Wallahu a’lam.(yunk)

[+/-] Selengkapnya...

[+/-] Selengkapnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bg